RSS
You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Click here for Myspace Layouts

Dalam Genggaman Penjajah

Setelah Setjonegoro wafat, pemerintahan kemudian dipimpin oleh Tumenggung R. Mangoen Koesoemo (1832-1847). Sewaktu pemerintahan dipimpin oeh Tumenggung R. Mangoen Koesoemo, Wonosobo jatuh ke dalam kekuasaan penjajahan Belanda dan saat itulah masa penjajahan di Wonosobo terjadi.
Semenjak berada dalam kekuasaan penjajahan Belanda pelaksanaan pembangunan tidakmampu memberikan perubahan-perubahan yang bisa memajukan rakyat. Baru ketika pemerintahan dipimpin oleh Tumenggung R. Tjokro Hadisoerjo (1863-1889), pembangunan mulai mengarah pada peningkatan kesejahteraan rakyat, dan mulailah dengan membangun pendidikan yaitu dengan berdirinya Sekolah Dasar 5 tahun.
Pada tahun 1882 di wilayah Pembantu Bupati atau Wedana, seperti: Leksono, Kaliwiro, Garung, dan Sapuran telah dibuka Sekolah Rendah 2 tahun. Terbagi atas kelas IA selama 6 bulan, kelas IB selama 6 bulan, lalu kelas IIA dan kelas IIB masing-masing selama 6 bulan.
Pada tahun1924, pemerintah Belanda membuat ketentuan mengenai otonomi daerah kabupaten melalui Undang-Undang Regentschapsordonantie Staatblad Nomor 79 Tahun 1924. Berdasarkan Undang-Undang tersebut maka pemerintah Belanda membentuk pemerintah otonom di seluruh wilayah kekuasaan. Pemerintah otonom terdiri dari Bupati (den Regent) sebagai Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Kabupaten (den Regentschapsraad) dan Dewan Pemerintahan (het College van Gecommitterden).
Kabupaten Wonosobo (Regentschap Wonosobo) dinyatakan resmi berdiri oleh pemerintah Baelanda pada tanggal 1 Januari 1930. Pelantikan atas susunan pemerintahan Kabupaten Wonosobo dilaksanakan pada tanggal 28 Januari 1930 oleh pejabat yang mewakili Gouverneur van Midden Java (Gubernur Jawa Tengah) dan dilanjutkan dengan sidang pertama Dewan Perwakilan kabupaten.

Bupati pertama yang dilantik pemerintah Belanda adalah R.A.A Sosrodiprodjo.Sebelum diangkat sebagai Bupati oleh pemerintah Belanda, R.A.A Sosrodiprodjo adalah seorang Adipati sejak tahun 1920. Sesuai dengan ketentuan, Bupati R.A.A Sosrodiprodjo bertindak pula sebagai Ketua Dewan Perwakilan Kabupaten, sedangkan para anggota Dewan Perwakilan Kabupaten berjumlah 17 orang yang terdiri dari: 2 orang Warga Negara Belanda, 2 orang Warga Negara Asing bukan Belanda (Cina, Arab, atau lainnya), dan 13 orang dari Warga Pribumi.
Anggota dewan dari unsur Warga Negara Belanda dan Warga Negara Asing ditentukan oleh pemerintah Belanda atas usul Bupati. Sedangkan anggota dewan dari unsur Warga Pribumi, dari 13 orang anggota 9 orang diantaranya dipilih melalui pemilihan dan 4 anggota lainnya diangkat oleh pemerintah Belanda atas usul Bupati. Masa kerja Dewan Perwakilan Kabupaten adalah empat tahun.
Pada mulanya pemerintah Kabupaten Wonosobo tidak memiliki geung untuk perkantorannya sehingga harus menyewa sebuah rumah di sebelah selatan alun-alun Wonosobo (sekarang Jalan Angkatan 45). Pada tanggal 29 September 1938, pemerintah kabupaten baru dapat menempati gedung barunya. Gedung tersebut kini dijadikan sebagai gedung DPRD Kabupaten Wonosobo.
Menjelang berakhirnya penjajahan Belanda di tanah air kita, pemerintah Belanda mencoba memberikan kesempatan yang lebih besar kepada rakyat pribumi untuk berperan dalam pelaksanaan pemilihan anggota Dewan Kabupaten. Proses pelaksanaan pemilihan yang terakhir adalah bulan Mei 1940, dan pada bulan September 1940 ditetapkanlah anggota Dewan Kabupaten Wonosobo masa bakti 1940-1945 berdasarkan surat ketepatan dari Governeur van Midden Java (Gubernur Jawa Tengah).
Kekalahan pemerintah Belanda terhadap Jepang menyebabkan adanya pergantian penguasa pemerintahan di Indonesia, termasuk pula di Kabupaten Wonosobo terhitung sejak tanggal 8 Maret 1942.
Pasukan tentara Jepang yang masuk ke Wonosobo ini merupakan sebagian dari pasukan tentara Jepang ke 16 dibawah pimpinan Laksamana Madya Takashyi. Mereka telah berhasil mendarat di Kranggan, Rembang, Jawa Tengah.
Pada masa penjajahan Jepang, dibentuklah badan-badan perwakilan yang disebut Ken sangi Kai. Namun badan perwakilan ini tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Badan perwakilan hanya dimanfaatkan untuk mendukung pemerintahan Jepang semata-mata.
Selama masa pendudukan Jepang, keadaan perekonomian rakyat sangat menyedihkan. Untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan pokok bagi kehidupan sehari-hari saja amat sulit karena persediaannya dibatasi oleh Jepang dan utuk membelinya harus antri yang panjang.
Bahan pakaian juga sangat terbatas sehingga banyak orang yang pakaiannya terbuat dari bahan karet, goni maupun karung. Peralatan kesehatan dan obat-obatan juga hampir tidak tersedia, sehingga untuk membalut luka digunakan kulit pohon pisang yang sudah dikeringkan.
Kesedihan waktu itu sangat dalam. Mayat manusia bergelimpangan di jalan-jalan karena kelaparan dan sakit yang tak terobati. Mayat-mayat itu terkapar tanpa terbungkus kain kafan, paling Cuma dibungkus dengan tikar. Sementara itu, pihak tentara Jepang terus-menerus mengumpulkan bahan-bahan makanan untuk diangkut secara rahasia keluar dari Wonosobo.
Akhirnya, setelah bala tentara Jepang menyerah kepada Sekutu dan kemerdekaan Indonesia diproklamasikan di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945, maka berakhirlah masa pendudukan Jepang di Indonesia. Saat itu pula para anggota pasukan tentara Jepang beserta para pemimpinnya berangsur-angsur meninggalkan Wonosobo.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar



Cool Widgets